JAKARTA, KOMPAS.com - Konsumen Apartemen Antasari 45 atas nama Oktavia Cokrodihardjo berencana melaporkan PT Prospek Duta Sukses (PDS) kepada Bareskrim Polri. PDS merupakan pengembang Apartemen Antasari 45 yang berlokasi di kawasan Antasari, Jakarta Selatan. Pihaknya dan sejumlah konsumen yang tergabung dalam Paguyuban Korban Antasari 45 terpaksa mempidanakan PDS jika tidak ada iktikad baik untuk menyelesaikan pembangunan Apartemen Antasari 45. Alih-alih menyelesaikan konstruksi fisik, PDS justru digugat pailit oleh Eko Aji Saputra melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ( PKPU) pada Selasa (9/6/2020) dengan nomor gugatan 140/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga Jkt.Pst di Pengadilan Niaga, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Cokro pun merasa ditipu, dan akan mempidanakan PDS dengan tuduhan penipuan, dan penggelapan uang konsumen. Karena dia tak mengenal Eko Aji Saputra yang mengajukan gugatan pailit PDS tersebut.
"Kami akan mempertimbangkan untuk melaporkan PDS kepada Bareskrim Polri.
Sudah ada sejumlah konsumen yang menyetujui langkah ini, tinggal
menunggu surat kuasa untuk tim penasihat hukum (lawyer)," kata Cokro
kepada Kompas.com, Kamis (13/8/2020). Cokro mengaku, hingga saat ini
tidak ada iktikad baik yang ditunjukkan oleh PDS. Mediasi yang dilakukan
pun selalu menemui jalan buntu. Termasuk pengembalian uang konsumen
(refund) yang dijanjikan Direktur PDS saat itu, Wahyu Hartanto. "Apalagi
dengan adanya gugatan pailit ini, makin tipis harapan kami untuk
mendapatkan keadilan," imbuh dia. Cokro sendiri merupakan konsumen
Apartemen Antasari 45 yang membeli empat unit pada 2014 lalu dengan
nilai total Rp 8,9 miliar. Seluruh unit tersebut sudah dibayar lunas
dengan metode pembayaran tunai bertahap (installment cash) pada 2017.
Mengutip petugas marketing saat pembelian unit, Cokro dijanjikan
menerima kunci apartemen pada Oktober 2017 dengan grace period enam
bulan. Namun, tahun berganti hingga enam kali kalender baru, Apartemen
Antasari 45 tak kunjung berdiri hingga saat ini. Jangankan konstruksi
struktur lantai dasar, ruang bawah tanah (rubanah) pun tak berwujud
sempurna. Selain Cokro, konsumen lain yang membeli Apartemen Antasari 45
adalah Srihanto Nugroho yang membeli tipe 1 kamar tidur sebanyak 2 unit
yang terdapat di Tower 1 dan Tower 2. Harga tipe unit apartemen
tersebut Rp 1,7 miliar, dengan dana yang telah disetor total senilai Rp
497 juta. Masing-masing Rp 477 juta untuk unit di Tower 1 dan Rp 20 juta
untuk unit Tower 2. Namun karena terjadi permasalahan, Hanto pun
menyetop pembayaran atas unit apartemen yang telah dicicilnya tersebut.
"Karena faktanya saat ini bangunan yang ada di lokasi baru tahap
basement saja," cetus Hanto. Selain menyetop pembayaran, Hanto beserta
konsumen lain menuntut PDS segera menyusun Rencana Perdamaian dan
kemudian diserahkan kepada seluruh kreditor agar dapat dipelajari
sebelum dilaksanakan Rapat Pembahasan Rencana Perdamaian. "Bila proposal
masuk akal kami akan pertimbangkan. Tapi bila tidak masuk akal, kami
bisa ambil langkah lain. Terpenting, kami akan mengusahakan uang balik
atau apartemen terbangun. Kami juga sudah menghubungi lembaga konsumen
(YLKI)," kata Hanto.
Apartemen
Antasari 45 diketahui telah dipasarkan sejak 2014 lalu. Dari keterangan
Cokro dan Hanto, dalam mendesain proyek ini, PDS juga menggandeng jasa
arsitek kelas dunia, PTI Architects.
Cokro dan Hanto menyebutkan, berdasarkan informasi yang mereka peroleh, jumlah apartemen yang sudah terjual sebanyak 923 unit dari 769 pembeli. Dari jumlah ini, dana yang seharusnya sudah diraup PDS senilai Rp 592 miliar, sedangkan sisa dana yang harus dibayarkan konsumen sekitar Rp 978 miliar. Angka ini berasal dari hitungan uang muka atau down payment (DP) minimal 30 persen dari harga unit. Sisanya 70 persen harus dibayarkan pada saat serah-terima unit. Selain dari DP 30 persen, dana yang diraup PDS juga berasal dari pembeli yang sudah membayar lebih dai 30 persen. Bahkan tidak sedikit juga konsumen yang sudah melunasi 100 persen, seperti Cokro. Secara rata-rata, pembeli telah membayar sebesar 37 persen. Artinya, hampir setiap pembeli telah memenuhi kewajibannya dengan membayar lebih besar dari DP 30 persen. Namun, selama enam tahun terakhir ini pembangunan apartemen (Tower 1 & Tower 2) tak menunjukkan kemajuan alias mangkrak. Tiba-tiba, pada tanggal 22 Juli 2020, Cokro dan hanto mengaku diminta memasukkan data jumlah tagihan yang sudah dibayarkan kepada PDS.
"Dari tanggapan mereka, banyak angka yang tidak sesuai jumlahnya. Besarnya tagihan yang kami tuntut (dengan melampirkan bukti transfer), dianggap lebih besar oleh PDS. ini aneh," kata Cokro. Meskipun pesimistis, proses PKPU di pengadilan ini mereka artikan sebagai proses negosiasi antara Pembeli dan Pengembang (PDS). Pada tanggal 6 Agustus 2020 juga telah dilakukan Rapat Kreditur kedua di Pengadilan Niaga, PN Jakarta Pusat guna memverifikasi tagihan. Pada rapat tersebut telah terjadi perbedaan pendapat antara Hakim dan Kreditur yang menanyakan Laporan Keuangan PDS. Dari dua kali Rapat Kreditur yang telah digelar di Pengadilan Niaga, JPN Jakarta Pusat yakni tanggal 22 Juli 2020 dan 6 Agustus 2020, Cokro dan Hanto menganggap bahwa meskipun namanya Rapat Kreditur, tapi rapat ini bukan untuk kami para pembeli atau Kreditur. "Sehingga, kami sebagai konsumen sangat khawatir PDS tidak memiliki itikad baik dengan hanya menawarkan Proposal Perdamaian yang asal-asalan. Artinya, PDS tidak peduli dengan nasib kami yang sudah menunggu lama sejak 2014," tutur Cokro. Cokro menduga PDS berkeinginan pailit agar bisa terbebaskan dari tanggung jawabnya. Bila pailit, tentu mereka akan sangat dirugikan, karena tidak memegang jaminan apapun. "Kami berharap pemerintah dapat memberikan perhatian terhadap kasus wanprestasi pengembang. Dan juga mengubah peraturan, memperketat perizinan. Sebelum pengembang memasarkan produknya, mereka harus membangun fisiknya, minimal 30 persen," harap Cokro. Dia menambahkan, Pemerintah harus segera menindaklanjuti hal ini jangan sampai PKPU digunakan sebagai jalan keluar pengembang yang tidak menjalankan tugas dan kewajibannya. Kompas.com terus berupaya menghubungi Wahyu Hartanto melalui pesan pendek dan sambungan telepon, namun hingga saat ini tak kunjung berbalas.
Terkait kasus PDS dan juga sejumlah kasus lain yang melibatkan pengembang properti yang digugat pailit dan berpotensi merugikan konsumen, Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Khalawi Abdul Khamid mengatakan, Pemerintah akan menghormati proses hukum, dan mengikuti prosedur yang berlaku. Namun demikian, Khalawi memastikan, Pemerintah akan mengkaji terlebih dahulu mengenai perlu atau tidaknya perubahan peraturan perizinan diberikan kepada pengembang sebelum memasarkan produknya. Khalawi mengatakan, Kementerian PUPR sesungguhnya telah berupaya mencegah hal ini terjadi melalui peluncuran aplikasi yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat. "Melalui aplikasi tersebut, masyarakat dapat membeli properti berikut pengembang terpilih dan terpercaya yang telah melewati proses verifikasi sebelumnya," kata Khawali kepada Kompas.com, Minggu (16/8/2020).
Sumber: Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar